
Klub ini telah bertransformasi, dari klubnya para bonek menjadi klubnya orang-orang kaya di London Barat. Dari klub yang cuma diisi pemain lokal, menjadi klub yang penuh bintang-bintang mahal kelas dunia.
Dari klub yang tadinya cuma ditonton oleh pekerja kerah biru, menjadi klub yang dipuja para esmud, bankir, direktur, dan kaum profesional kelas menengah atas, pekerja kerah putih.
Singkat kata, Chelsea yang sekarang, adalah klub sepakbola kosmopolitan.
Bila kita membandingkan Chelsea di masa lalu, terutama saat sebelum datangnya pemilik baru, konglomerat Rusia Roman Abramovic, memang terlihat kontras. Klub ini, semula, dikenal sebagai biangnya para hooligan.
Gambaran itu dapat ditelusuri dari cerita Alan Garrison. Ia seorang pelopor hooligan di klub itu. Dan boleh jadi, Alan lah yang menciptakan gaya berkelahi para hooligan di dalam persepakbolaan Inggris.
Kesimpulan itu tidaklah terlalu mengada-ngada.
Dulu, kata Alan, diantara 10 ribu fans Chelsea, 6 ribu diantaranya datang ke stadion bukan untuk menyaksikan pertandingan, melainkan untuk tawuran. Salah satu biangnya, adalah dirinya sendiri!
Nama Alan tertulis di dalam situs Chelsea. Lembaran hidupnya dijalani bersama klub pujaannya itu, sehingga membuat Chelsea harus menyediakan satu halaman khusus untuk menceritakan siapa Alan.
Sejak usia 5 tahun, Alan sudah diajak ayahnya untuk menyaksikan pertandingan Chelsea. Melihat antusiasme dan fanatisme penonton, saat itu, ia merasa terharu. Melangkah ke usia remaja, Alan makin gandrung bergabung dengan para penonton bola.
Ada alasan khusus mengapa dia merasa cocok berada di dalam kerumunan penggemar Chelsea. Tak lain, adalah karena Alan adalah sosok manusia yang terasing dari budayanya.
Ayah Alan adalah orang Jerman yang dinas di ketentaraan SS Nazi Hitler. Dan ibunya, seorang Yahudi yang berprofesi sebagai perawat. Dapat dibayangkan bukan, bagaimana terbuangnya Alan? Karena, seperti diketahui, Hitler anti Yahudi.
Tak ayal, sebagai anak dari ayah Jerman ibu Yahudi, maka Alan sejak kecil telah menjadi olok-olokan rekan-rekan sebayanya. Seringkali ia diledek oleh teman-teman sepermainannya, "dasar Yahudi dungu!" dan dilanjutkan dengan, "anak Nazi Jerman brengsek!"
Nah, dengan masa lalu yang penuh ejekan seperti itu, terbayanglah, bagaimana anak yang sering diledek itu membutuhkan komunitas baru dimana dia bisa membuat identitas baru tentang dirinya, dan melupakan garis genetikanya.
Dan itu, hanya bisa didapatnya dari tribun stadion Stamford Bridge. Namun, di dalam kamus pergaulan penonton bola kala itu, yang paling disukai kawan adalah yang paling mampu berkelahi melawan fans tim lawan.
Pengalaman pertama Alan, terjadi di tahun 1963, saat usianya 16 tahun. Dengan penuh rasa bangga, Alan mengenang masa itu. Ia melepaskan sebuah tendangan ke arah pria-pria kekar yang usianya 30-an, fans Burnley. Tapi, serangan balik rupanya lebih dahsyat. Alan dipukul roboh hingga nyaris mematahkan lehernya.
Kapok kah dia? Ternyata pengalaman itu justru membuat Alan dan kawan-kawannya memiliki tekad yang lebih kuat, untuk melakukan serangan balasan. Tak tanggung-tanggung tekad itu, Alan dan belasan holigan muda menyusup ke kubu Burnley, menyamar untuk bisa melakukan aksi balas dendam di kandang lawan.
Dan dapat begitulah seterusnya cerita kebrutalan Alan dan kawan-kawan hooligannya, hingga Alan kemudian, secara alami, naik menjadi pimpinan hooligan Chelsea.
PADA dekade 1970-an hingga 1980-an, Alan membuat Chelsea menjadi klub yang paling disegani, dalam hal tawuran. Sehingga,seringkali, karena ulahnya itu, ia harus berulangkali keluar masuk penjara. Anehnya, itu justru membuat ia bangga, dan diakui oleh para hooligan lainnya.
Saking brengseknya Alan dan ribuan fans hooligan Chelsea, oleh pemilik klub pada tahun 1983, Stamfor Bridge pernah diusulkan agar pagar pembatas penonton (dulu masih ada pagar) dialiri listrik 12 volt! Maksudnya, supaya mereka tidak merangsek ke dalam stadion untuk berbuat anarkis saat Chelsea sedang menjamu tamunya.
Tapi, tentu saja, usulan itu, dari segi kemanusiaan, sama artinya dengan membuat para penonton bola seperti halnya binatang buas yang harus dikandangi! Dan tentu saja, itu sangat melanggar HAM, bukan?
Nah, begitulah setidaknya gambaran singkat betapa brengseknya fans Chelsea dulu, di eranya Alan Garrison itu. Meski hebat dalam tawuran, prestasi Chelsea jeblok, jauh dibawah klub-klub sekota seperti Arsenal maupun Tottenham Hotspurs.
Transformasi Chelsea mulai terjadi pada tahun 1990-an. Didorong oleh situasi nasioal persepakbolaan Inggris, menyusul tragedi di Stadion Hillsborough, Sheffield, yang menewaskan 95 orang, saat berlangsungnya partai final Piala FA antara Liverpool vs Nottingham Forest.
Kejadian itu memaksa pemerintah Inggris untuk memperketat aturan di stadion, termasuk soal pagar, dan penonton. Dan oleh karena aturan tersebut, mau tidak mau, Chelsea harus membuka diri terhadap masuknya investor dari luar klub tersebut.
Perlahan tapi pasti, Chelsea mulai bebenah diri. Harga tiket pertandingan dinaikkan, sehingga perlahan tapi pasti terjadi pergeseran market, penggemar yang datang ke stadion. Chelsea yang dulunya adalah klub para buruh, berubah menjadi klubnya orang-orang kaya. Pemain-pemain asing mulai berdatangan ke klub itu. Pelatih dari Belanda dan Italia dimasukkan. Dan seterusnya, hingga kemudian Roman Abramovic makin membuat Chelsea menjadi klubnya para bintang-bintang dunia, seperti hari ini.
Terhadap Chelsea yang kosmopolit ini, apa yang dirasakan penggemar seperti Alan? Dia cuma bisa berkata kecut, "Sekarang ini, orang-orang pergi ke pertandingan hanya untuk mengatakan, 'lihat saya keren'. Saya nonton Chelsea."
Kini penggemar seperti Alan, tak bisa berbuat neko-neko lagi. Ketika berada di Stadion Stamford Bridge, jangankan tawuran, berjingkrak-jingkrakan saja pasti akan ditatap sinis oleh kelompok penggemar baru yang berasal dari kelas menengah atas London Barat.
Menonton sepakbola, tidak lagi bisa menyalurkan bakat hooligan Alan dan kerumunannya. Barangkali, saat ini, Alan kembali merasakan keterasingan di tengah komunitasnya, sama seperti ketika dulu dia merasa terasing sebagai peranakan Jerman-Yahudi.